Minggu, 19 Oktober 2014

Keberhasilan Siswa Terkait Efektifitas Waktu Pembelajaran

Artika Werian
Mahasiswa Semester IV Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris
Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Suska Riau
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Educational Psychology


Pendahuluan
Perencanaan waktu sangat krusial dalam mempengaruhi pencapaian target pembelajaran. Ketersediaan waktu erat kaitannya dengan keberhasilan siswa dalam memahami materi pelajaran. Bagaimana waktu yang cukup bisa membuat siswa menguasai lebih dalam sebuah materi yang diajarkan, dan berapa lama waktu yang dibutuhkan oleh siswa untuk memahami pelajaran dengan inteligensi yang berbeda-beda.
Sering karena terbatasnya waktu siswa dipaksa untuk mengerjakan sekian banyak tugas instruksional dalam waktu yang mepet. Hal ini disebabkan karena satu kenyataan bahwa bahan pengajaran di kurikulum kita terlalu overload. Bagi siswa sendiri, kejar materi dan tugas yang overload, merupakan suatu ketakutan. Bagaimana mereka bisa memahami materi yang begitu banyak dalam waktu singkat sehingga menyebabkan kejenuhan berpikir dan belajar, serta secara bersamaan bagaimana cara menyelesaikan setumpuk tugas untuk memenuhi kolom penilaian yang menjadi pegangan guru dalam waktu yang juga mendesak. Sebagai akibat, ketakutan akan penurunan prestasi pun muncul.

Perencanaan Waktu
Guru sebagai promotor dalam kegiatan belajar-mengajar harus mampu mempertimbangkan waktu pembelajaran. Hal ini meliputi berapa banyak waktu yang diperlukan untuk tatap muka di kelas dan waktu tambahan yang dibutuhkan siswa di luar sekolah untuk mengerjakan berbagai tugas instruksional. Richard I. Arends (2007) mengungkapkan bahwa di luar sekolah, sejumlah siswa ditemukan menggunakan banyak proporsi waktu mereka bukan untuk kegiatan akademik melainkan untuk aktifitas rumahan. Di kelas pun siswa sering berpacu dengan waktu untuk menyerap pelajaran secepat mungkin. Padahal penelitian menunjukkan bahwa siswa yang memiliki kelas dengan alokasi waktu yang lebih banyak untuk mengerjakan tugas akademik bisa meraih prestasi yang lebih baik dalam bidang matematika dan membaca.
Sabirin (2012) menjelaskan pada hakikatnya perencanaan pembelajaran adalah suatu rangkaian proses kegiatan menyiapkan keputusan mengenai apa yang diharapkan terjadi (waktu, peristiwa, keadaan, suasana, dan sebagainya) dan apa yang akan dilakukan. Perencanaan pembelajaran yang melingkupi materi, strategi, dan waktu yang diperkirakan sudah efisien mungkin akan menjadi di luar dugaan dalam proses belajar-mengajar. Akibatnya kebanyakan guru mengejar target materi dengan menumpuk tugas siswa atau kejar materi dengan mengajarkan sebanyak-banyaknya topik dalam sekali pertemuan yang mengakibatkan siswa tidak memiliki waktu untuk memikirkan dan mencoba mencerna pelajaran yang diberikan lebih mendalam. Resikonya siswa tidak menguasai materi pelajaran dengan baik dan tidak sempat untuk mengerjakan tugas yang diberikan dengan hasil maksimal, sehingga target pembelajaran untuk memahamkan siswa dan menjadikan siswa cerdas tidak tercapai.
Di sekolah dasar di Amerika seorang guru harus menghadapi 20 hingga 25 siswa setiap harinya terkait tugas wali kelas mengajari semua mata pelajaran. Di sekolah-sekolah menengah guru bisa menghadapi beberapa kelas dengan jumlah siswa per kelasnya 20 sampai 25 orang dengan 50 menit pertemuan per hari, demikian yang diungkapkan John W. Santrock (2004 : 449). Kondisi pembelajaran di Indonesia juga hampir sama dengan kondisi di atas. Jika dibandingkan dengan siswa sekolah menengah, siswa sekolah dasar memiliki lebih banyak waktu untuk dekat dengan gurunya dan membicarakan berbagai permasalahan dalam pembelajaran, namun guru sekolah menengah yang hanya bertemu dengan siswanya dua atau satu kali per minggu harus mengatur waktu dengan efektif dan disiplin serta menyesuaikan materi pembelajaran dengan waktu yang tersedia.
Abdullah Pandang (2013 : 2) berpendapat bahwa tidak ada satu cara yang paling efektif untuk mengelola waktu terbaik dalam kegiatan belajar-mengajar. Yang paling baik adalah guru ataupun siswa mencobakan dan menjadwalkan waktu sesuai pola kerja sendiri hingga merasa nyaman pada pengelolaan waktu tersebut. Fisher (1980), Rosenshine (1980), dan Stalling & Kaskowitz (1974) mengungkapkan sebagaimana yang dikutip oleh Arends (2007), setidaknya seorang guru harus mempertimbangkan kategori waktu instruksional di bawah ini:
1.      Total time. Adalah jumlah waktu seharusnya yang dihabiskan siswa di sekolah. Di kebanyakan negara, waktu ini biasanya berjumlah 180 hari per tahun dengan enam hingga tujuh jam per hari.
2.      Attended time. Adalah jumlah waktu siswa benar-benar hadir ke sekolahnya. Sakit, izin, dan alasan ketidakhadiran lainnya mengurangi waktu total time hingga attended time diperoleh.
3.      Available time. Sebagian waktu di sekolah digunakan untuk makan siang, istirahat, dan kegiatan ekstra kurikuler yang tidak memiliki tujuan akademis.
4.      Planned academic time. Ketika guru membuat buku perencanaan pembelajaran, mereka mengatur jumlah waktu tertentu untuk aktifitas dan subyek-subyek yang berbeda, inilah apa yang disebut planned academic time.
5.      Actual academic time. Adalah waktu yang sebenarnya dihabiskan guru unuk aktifitas dan tugas-tugas akademis.
6.      Engaged time or time on task. Merupakan jumlah waktu sebenarnya yang dihabiskan siswa untuk sebuah aktifitas belajar dan mengerjakan tugas. Misalnya ketika seorang guru memberikan durasi waktu untuk mendiskusikan sebuah materi pelajaran Bahasa Inggris kepada siswanya. Siswa yang menghabiskan waktu yang dialokasikan untuk mendiskusikan apa yang diminta disebut on-task, sedangkan siswa yang tidak menghabiskan waktunya untuk ini, misalkan membicarakan hal lain selain Bahasa Inggris dalam durasi waktu disebut off-task. Dalam hal ini guru harus mengupayakan bagaimana semua siswa bisa sepenuhnya on-task dan belajar dalam durasi engaged time.
7.      Academic learning time. Merupakan jumlah waktu yang dihabiskan seorang siswa untuk satu tugas akademik.
Dalam perencanaan pembelajaran seorang guru haruslah berpikir lebih keras bagaimana upaya pengefeektifan waktu. Dalam planned academic time seorang guru mencoba untuk menjumlahkan total waktu setelah dikurangi waktu-waktu non-akademik untuk memperoleh total waktu terdekat yang sesungguhnya bisa dimanfaatkan untuk sejumlah aktifitas akademik sehingga guru bisa membuat perencanaan matang dalam membagi sub-bahasan setiap pertemuan dan memberikan tugas siswa.
Bagi siswa sendiri besar kemungkinan terjadi pembuangan waktu pada jam rumahan. Setelah mereka kembali dari sekolah, waktu yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk mengulangi pelajaran berpeluang untuk hilang disebabkan aktifitas rumahan, seperti bermain, membantu orang tua, dan sebagainya. Abdullah Pandang menyarankan guru bersama orang tua untuk mengatur waktu belajar anak-anak dan siswa sebagai berikut.
1.      Perencanaan. Penting dilakukan jika siswa dihadapkan pada tugas yang harus diselesaikan pada waktu yang terbatas, seperti dalam membuat PR, mengarang, membuat laporan, dan sebagainya.
2.      Bimbing siswa/anak jika mereka dihadapkan pada tugas-tugas yang banyak dan/atau sulit, usahakanlah membuat mereka memecah-mecah atau menguraikan tugas-tugas menjadi sub-sub tugas yang lebih memungkinkan untuk dapat dikelola.
3.      Bimbing siswa/anak untuk membuat waktu mereka seproduktif mungkin. Berikan mereka waktu untuk bermain dan refreshing, namun arahkan semua proses itu agar mereka bisa belajar lebih giat. Misalnya, memberi mereka reward untuk bermain bersama teman setelah selesai belajar. Berikan anak-anak/siswa permainan yang mengandung nilai pelajaran.

Waktu dan Multiple Inteligensi
Santrock mengemukakan inteligensi terbentuk dari kemampuan analisis, kreatifitas, dan praktis. Kemampuan analisis meliputi kemampuan menganalisa, menilai, membandingkan dan membedakan suatu hal. Kemampuan kreatifitas terdiri dari kecakapan mendesain, menciptakan, menemukan, dan imajinasi. Kecerdasan praktis meliputi kemampuan penggunaan dan pengaplikasian teori. Manusia dengan inteligensi tinggi akan dengan tepat dan cepat dalam melakukan sesuatu, menyelesaikan masalah, menangkap dan memberikan reaksi terhadap sebuah stimulus. Dalam proses pembelajaran, siswa dengan IQ di atas 110 ini memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, akan selalu cepat dalam merespon, menerima, mengolah, memahami, dan menguasai informasi dan pembelajaran yang mereka terima. Karenanya mereka juga cepat dalam menyelesaikan semua tugas pembelajaran sehingga memiliki lebih banyak waktu luang dibanding siswa normal dan abnormal dengan inteligensi di bawah rata-rata.
Dalam bukunya Mulyasa (2011 : 123) mengungkapkan siswa dengan inteligensi rendah (lambat belajar) memiliki IQ 70 – 90. Mereka akan lamban dalam segala hal. Mereka dengan golongan IQ ini lamban dalam aspek motorik, lamban dalam menerima dan mengolah pembelajaran, lamban dalam bekerja, lamban dalam memahami isi bacaan, dan lamban dalam menganalisis dan memecahkan masalah. Oleh karena itu siswa dengan keadaan IQ seperti ini membutuhkan waktu lebih lama untuk menyelesaikan berbagai tugas instruksional. Mereka tidak akan memiliki banyak waktu luang yang tersisa setelah mengerjakan tugas seperti halnya siswa dengan inteligensi tinggi.
Beragam keadaan inteligensi siswa seperti di atas dapat ditemukan dalam sebuah kelas dan harus dapat ditangani guru agar transfer ilmu bisa merata meskipun hasilnya tetap tidak akan sama antara siswa berinteligensi tinggi dengan yang rendah. Guru harus mengupayakan bagaimana mereka bisa membuat siswa paham akan materi dengan memberi waktu lebih kepada mereka yang memiliki IQ rendah untuk dapat mencerna materi pelajaran. Waktu mendesak dan mepet dalam suatu periode ajaran akan membuat siswa dengan kemampuan inteligensi rendah tidak memiliki kesempatan untuk mendalami pelajaran mereka. Karena boleh jadi akibat mepetnya waktu guru harus mengejar materi pelajaran, memberi sebuah materi baru sebelum materi lama terkuasai oleh siswa. Akibatnya materi pelajaran yang belum dipahami siswa ber-IQ rendah akan terus menumpuk dan tetap tidak terkuasai hingga ujian akhir.
Begitu juga dalam hal pemberian tugas intruksionil. Jika siswa dengan IQ tinggi akan mampu menyelesaikan tugas dengan cepat, siswa dengan IQ rendah malah dikhawatirkan tidak dapat menyelesaikan tugas yang diberikan tepat waktu dengan hasil yang maksimal. Kemungkinan terburuk jika waktu yang diberikan untuk menyelesaikan tugas sangat sempit dengan kejar tayang materi pelajaran sehingga siswa diberikan banyak tugas, maka siswa tersebut akan kehilangan kesempatan untuk menyelesaikan dan mengumpulkan tugasnya hingga batas waktu yang diberikan dan berakibat pada tidak tuntasnya penilaian untuk siswa tersebut pada suatu mata pelajaran.
Untuk menyeimbangkan keadaan di kelas, guru bisa membagi kelompok belajar dan bekerja sama dengan siswa-siswa berinteligensi tinggi. Guru dapat mengelompokkan siswa yang pintar dan kurang dalam satu kelompok belajar untuk kemudian mengerjakan tugas bersama-sama. Siswa berinteligensi tinggi diberikan pengarahan untuk dapat membantu dan bersama guru membimbing siswa berinteligensi rendah dengan penilaian individual objektif yang kemudian dilakukan oleh guru. Dengan cara ini, guru terbantu untuk memahamkan siswa yang kurang sekaligus menghemat waktu pembelajaran sebab siswa akan bersama-sama mengerjakan dan menyelesaikan tugas instruksional mereka.

Waktu dan Kecemasan
Wicaksono (2013 : 90) menyimpulkan bahwa kecemasan dalam belajar merupakan bentuk perasaan seseorang baik berupa perasaan takut, tegang ataupun cemas dalam menghadapi persoalan atau dalam melaksanakan pembelajaran dengan berbagai bentuk gejala yang ditimbulkan. Orang-orang sering merasa bertambah cemas apabila diminta melakukan sesuatu pada saat terdesak.
Pemberian tugas di saat-saat terakhir batas waktu pembelajaran akan membuat seorang siswa mengerjakan tugas intruksionalnya secara asal-asalan. Betapa tidak, siswa harus mengejar target untuk mengumpulkan tugas suatu mata pelajaran di tanggal D. Tugas-tugas instruksional dari mata pelajaran lain secara mendesak juga diminta untuk dikumpulkan di tanggal yang sama. Akibatnya siswa tidak bisa focus untuk mengerjakan satu tugas secara maksimal. Siswa tersebut akhirnya merasa cemas jika tugas-tugas yang diberikan tidak terselesaikan tepat pada waktunya. Siswa akhirnya memilih untuk asal mengumpulkan tugas tepat pada waktunya ketimbang menyelesaikan tugas dengan maksimal tetapi membutuhkan waktu yang lebih lama dan potensi keterlambatan pengumpulan tugas lebih besar.
Kasus tugas-tugas mendesak seperti ini biasanya terjadi di akhir waktu periode pembelajaran untuk memenuhi nilai tugas akhir. Kerugiannya siswa tidak bisa memaksimalkan potensi yang dimilikinya walaupun ia sebetulnya bisa menghasilkan sebuah karya yang lebih baik. Secara otomatis nilai siswa yang bersangkutan tidak akan lagi maksimal seperti ketidakmaksimalan tugasnya. Tidak menutup kemungkinan prestasi siswa tersebut bisa menurun.
Pengaturan dalam pemberian tugas haruslah direncanakan dengan baik oleh guru. Misalnya guru bisa memikirkan lebih awal jenis tugas apa yang akan diberikan kepada siswa dan mengumumkannya lebih awal pula, sehingga siswa memiliki waktu lebih banyak untuk menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan. Efek positifnya tingkat kecemasan dan kejenuhan siswa akan berkurang.

Kesimpulan
Guru harus sangat professional dalam membagi waktu pembelajaran. Mestinya kurikulum pembelajaran juga menyesuaikan kepadatan materi pembelajaran dengan alokasi waktu yang tersedia. Namun jika seorang guru bijak dalam perencanaan pembelajaran maka ia bisa meminimalisir keterdesakan waktu tersebut.
Pengaturan waktu sangat penting karena kemampuan siswa berbeda-beda satu sama lainnya. Dengan memberikan luang bagi mereka untuk leluasa mengeksplorasi kemampuannya, maka siswa berkemampuan rendah akan dapat menyelesaikan tugas dengan tenang sehingga hasilnya tidak akan terlalu mengecewakan.

Referensi
Arends, Richard I, Learning to Teach, New York: The McGraw Hill, Inc., 2007.
Liza, “Otak Manusia, Neurotransmitter, dan Stress”, Artikel Dinas Kesehatan Kabupaten      Cirebon, 2010.
Mulyasa, Menjadi Guru Profesional, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011.
Pandang, Abdullah, “Manajemen Waktu Belajar”, bahan disajikan pada Character            Development Training bagi mahasiswa Bidik-Misi UNM, 2013.
Rachmahana, Ratna Syifa’a, “Psikologi Humanistik dan Aplikasinya dalam Pendidikan”, Jurnal El-Tarbawi, vol. 1, no. 1, 2008.
Sabirin, “Perencanaan Kepala Sekolah tentang Pembelajaran”, Jurnal Tabularasa, vol.       09, no. 10 (Juni, 2012).
Sadker, Myra and David Sadker, Teachers, Schools, and Society, New York: The McGraw Hill, Inc., 2005
Santrock, John W, Educational Psychology, New York: The McGraw Hill, Inc., 2004.
Umi Humairoh, “Pengaruh Metode Pemberian Tugas dan Resitasi Terhadap Hasil Belajar IPS pada Siswa Kelas VII di MTs Daarul Hikmah Pamulang”, Skripsi Universitas         Negeri Jakarta, Jakarta, 2011.

Wicaksono, Arif Budi, “Mengelola Kecemasan Siswa dalam Pembelajaran Matematika”,      Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan            Matematika Pendidikan Matematika FMIPA UNY (Yogyakarta: Nopember 2013).

1 komentar:

  1. Tulisan Artika Werian, Ibu jadikan sumber dalam penelitian Ibu. Trims ya nanda.Salam

    BalasHapus