Artika Werian
Mahasiswa
Semester IV Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris
Fakultas
Tarbiyah dan Keguruan UIN Suska Riau
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Educational Psychology
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Educational Psychology
Pendahuluan
Perencanaan waktu sangat krusial
dalam mempengaruhi pencapaian target pembelajaran. Ketersediaan waktu erat
kaitannya dengan keberhasilan siswa dalam memahami materi pelajaran. Bagaimana
waktu yang cukup bisa membuat siswa menguasai lebih dalam sebuah materi yang
diajarkan, dan berapa lama waktu yang dibutuhkan oleh siswa untuk memahami
pelajaran dengan inteligensi yang berbeda-beda.
Sering karena terbatasnya waktu
siswa dipaksa untuk mengerjakan sekian banyak tugas instruksional dalam waktu
yang mepet. Hal ini disebabkan karena satu kenyataan bahwa bahan pengajaran di kurikulum kita terlalu overload.
Bagi siswa sendiri, kejar materi dan tugas yang overload, merupakan
suatu ketakutan. Bagaimana mereka bisa memahami materi yang begitu banyak dalam
waktu singkat sehingga menyebabkan kejenuhan berpikir dan belajar, serta secara
bersamaan bagaimana cara menyelesaikan setumpuk tugas untuk memenuhi kolom
penilaian yang menjadi pegangan guru dalam waktu yang juga mendesak. Sebagai
akibat, ketakutan akan penurunan prestasi pun muncul.
Perencanaan Waktu
Guru sebagai promotor dalam kegiatan belajar-mengajar harus mampu
mempertimbangkan waktu pembelajaran. Hal ini meliputi berapa banyak waktu yang
diperlukan untuk tatap muka di kelas dan waktu tambahan yang dibutuhkan siswa
di luar sekolah untuk mengerjakan berbagai tugas instruksional. Richard I.
Arends (2007) mengungkapkan bahwa di luar sekolah, sejumlah siswa ditemukan menggunakan
banyak proporsi waktu mereka bukan untuk kegiatan akademik melainkan untuk
aktifitas rumahan. Di kelas pun siswa sering berpacu dengan waktu untuk
menyerap pelajaran secepat mungkin. Padahal penelitian menunjukkan bahwa siswa
yang memiliki kelas dengan alokasi waktu yang lebih banyak untuk mengerjakan
tugas akademik bisa meraih prestasi yang lebih baik dalam bidang matematika dan
membaca.
Sabirin
(2012) menjelaskan pada hakikatnya
perencanaan pembelajaran adalah suatu rangkaian proses kegiatan menyiapkan keputusan mengenai
apa yang
diharapkan terjadi (waktu,
peristiwa, keadaan, suasana, dan sebagainya) dan
apa yang akan dilakukan. Perencanaan pembelajaran yang melingkupi materi, strategi, dan waktu
yang diperkirakan sudah efisien mungkin akan menjadi di luar dugaan dalam
proses belajar-mengajar. Akibatnya kebanyakan guru mengejar target materi
dengan menumpuk tugas siswa atau kejar materi dengan mengajarkan
sebanyak-banyaknya topik dalam sekali pertemuan yang mengakibatkan siswa tidak
memiliki waktu untuk memikirkan dan mencoba mencerna pelajaran yang diberikan
lebih mendalam. Resikonya siswa tidak menguasai materi pelajaran dengan baik
dan tidak sempat untuk mengerjakan tugas yang diberikan dengan hasil maksimal,
sehingga target pembelajaran untuk memahamkan siswa dan menjadikan siswa cerdas
tidak tercapai.
Di sekolah dasar di Amerika seorang guru harus menghadapi 20 hingga 25 siswa setiap harinya terkait
tugas wali kelas mengajari semua mata pelajaran. Di sekolah-sekolah menengah
guru bisa menghadapi beberapa kelas dengan jumlah siswa per kelasnya 20 sampai 25
orang dengan 50 menit pertemuan per hari, demikian yang diungkapkan John W.
Santrock (2004 : 449). Kondisi pembelajaran di Indonesia juga hampir sama dengan
kondisi di atas. Jika
dibandingkan dengan siswa sekolah menengah, siswa sekolah dasar memiliki lebih
banyak waktu untuk dekat dengan gurunya dan membicarakan berbagai permasalahan
dalam pembelajaran, namun guru sekolah menengah yang hanya bertemu dengan
siswanya dua atau satu kali per minggu harus mengatur waktu dengan efektif dan
disiplin serta menyesuaikan materi pembelajaran dengan waktu yang tersedia.
Abdullah Pandang (2013 : 2) berpendapat bahwa tidak ada satu cara
yang paling efektif untuk mengelola waktu terbaik dalam kegiatan
belajar-mengajar. Yang paling baik adalah guru ataupun siswa mencobakan dan
menjadwalkan waktu sesuai pola kerja sendiri hingga merasa nyaman pada
pengelolaan waktu tersebut. Fisher (1980), Rosenshine (1980), dan Stalling
& Kaskowitz (1974) mengungkapkan sebagaimana yang dikutip oleh Arends
(2007), setidaknya seorang guru harus mempertimbangkan kategori waktu
instruksional di bawah ini:
1.
Total time.
Adalah jumlah waktu seharusnya yang dihabiskan siswa di sekolah. Di kebanyakan
negara, waktu ini biasanya berjumlah 180 hari per tahun dengan enam hingga
tujuh jam per hari.
2.
Attended time. Adalah
jumlah waktu siswa benar-benar hadir ke sekolahnya. Sakit, izin, dan alasan
ketidakhadiran lainnya mengurangi waktu total time hingga attended
time diperoleh.
3.
Available time. Sebagian
waktu di sekolah digunakan untuk makan siang, istirahat, dan kegiatan ekstra
kurikuler yang tidak memiliki tujuan akademis.
4.
Planned academic time. Ketika
guru membuat buku perencanaan pembelajaran, mereka mengatur jumlah waktu
tertentu untuk aktifitas dan subyek-subyek yang berbeda, inilah apa yang
disebut planned academic time.
5.
Actual academic time. Adalah
waktu yang sebenarnya dihabiskan guru unuk aktifitas dan tugas-tugas akademis.
6.
Engaged time or
time on task. Merupakan jumlah waktu sebenarnya yang dihabiskan siswa untuk
sebuah aktifitas belajar dan mengerjakan tugas. Misalnya ketika seorang guru
memberikan durasi waktu untuk mendiskusikan sebuah materi pelajaran Bahasa
Inggris kepada siswanya. Siswa yang menghabiskan waktu yang dialokasikan untuk
mendiskusikan apa yang diminta disebut on-task, sedangkan siswa yang
tidak menghabiskan waktunya untuk ini, misalkan membicarakan hal lain selain
Bahasa Inggris dalam durasi waktu disebut off-task. Dalam hal ini guru
harus mengupayakan bagaimana semua siswa bisa sepenuhnya on-task dan
belajar dalam durasi engaged time.
7.
Academic learning time. Merupakan jumlah waktu yang dihabiskan seorang siswa untuk satu tugas
akademik.
Dalam perencanaan pembelajaran seorang guru haruslah berpikir lebih
keras bagaimana upaya pengefeektifan waktu. Dalam planned academic time
seorang guru mencoba untuk menjumlahkan total waktu setelah dikurangi
waktu-waktu non-akademik untuk memperoleh total waktu terdekat yang
sesungguhnya bisa dimanfaatkan untuk sejumlah aktifitas akademik sehingga guru
bisa membuat perencanaan matang dalam membagi sub-bahasan setiap pertemuan dan
memberikan tugas siswa.
Bagi siswa sendiri besar kemungkinan terjadi pembuangan waktu pada
jam rumahan. Setelah mereka kembali dari sekolah, waktu yang seharusnya bisa
dimanfaatkan untuk mengulangi pelajaran berpeluang untuk hilang disebabkan
aktifitas rumahan, seperti bermain, membantu orang tua, dan sebagainya. Abdullah
Pandang menyarankan guru bersama orang tua untuk mengatur waktu belajar anak-anak
dan siswa sebagai berikut.
1.
Perencanaan. Penting dilakukan jika siswa dihadapkan
pada tugas yang harus diselesaikan pada waktu yang terbatas, seperti dalam membuat PR, mengarang, membuat laporan, dan sebagainya.
2.
Bimbing siswa/anak jika mereka
dihadapkan pada tugas-tugas yang banyak dan/atau sulit, usahakanlah membuat mereka
memecah-mecah atau menguraikan tugas-tugas menjadi sub-sub tugas yang lebih
memungkinkan untuk dapat dikelola.
3.
Bimbing siswa/anak untuk membuat waktu mereka seproduktif mungkin.
Berikan mereka waktu untuk bermain dan refreshing, namun arahkan semua
proses itu agar mereka bisa belajar lebih giat. Misalnya, memberi mereka reward
untuk bermain bersama teman setelah selesai belajar. Berikan anak-anak/siswa
permainan yang mengandung nilai pelajaran.
Waktu dan Multiple Inteligensi
Santrock mengemukakan inteligensi terbentuk dari kemampuan
analisis, kreatifitas, dan praktis. Kemampuan analisis meliputi kemampuan
menganalisa, menilai, membandingkan dan membedakan suatu hal. Kemampuan
kreatifitas terdiri dari kecakapan mendesain, menciptakan, menemukan, dan imajinasi.
Kecerdasan praktis meliputi kemampuan penggunaan dan pengaplikasian teori. Manusia
dengan inteligensi tinggi akan dengan tepat dan cepat dalam melakukan sesuatu,
menyelesaikan masalah, menangkap dan memberikan reaksi terhadap sebuah
stimulus. Dalam proses pembelajaran, siswa dengan IQ di atas 110 ini memiliki
rasa ingin tahu yang tinggi, akan selalu cepat dalam merespon, menerima,
mengolah, memahami, dan menguasai informasi dan pembelajaran yang mereka
terima. Karenanya mereka juga cepat dalam menyelesaikan semua tugas
pembelajaran sehingga memiliki lebih banyak waktu luang dibanding siswa normal
dan abnormal dengan inteligensi di bawah rata-rata.
Dalam bukunya Mulyasa (2011 : 123) mengungkapkan siswa dengan
inteligensi rendah (lambat belajar) memiliki IQ 70 – 90. Mereka akan lamban
dalam segala hal. Mereka dengan golongan IQ ini lamban dalam aspek motorik,
lamban dalam menerima dan mengolah pembelajaran, lamban dalam bekerja, lamban
dalam memahami isi bacaan, dan lamban dalam menganalisis dan memecahkan
masalah. Oleh karena itu siswa dengan keadaan IQ seperti ini membutuhkan waktu
lebih lama untuk menyelesaikan berbagai tugas instruksional. Mereka tidak akan
memiliki banyak waktu luang yang tersisa setelah mengerjakan tugas seperti
halnya siswa dengan inteligensi tinggi.
Beragam keadaan inteligensi siswa seperti di atas dapat ditemukan
dalam sebuah kelas dan harus dapat ditangani guru agar transfer ilmu bisa
merata meskipun hasilnya tetap tidak akan sama antara siswa berinteligensi
tinggi dengan yang rendah. Guru harus mengupayakan bagaimana mereka bisa
membuat siswa paham akan materi dengan memberi waktu lebih kepada mereka yang
memiliki IQ rendah untuk dapat mencerna materi pelajaran. Waktu mendesak dan
mepet dalam suatu periode ajaran akan membuat siswa dengan kemampuan
inteligensi rendah tidak memiliki kesempatan untuk mendalami pelajaran mereka.
Karena boleh jadi akibat mepetnya waktu guru harus mengejar materi pelajaran,
memberi sebuah materi baru sebelum materi lama terkuasai oleh siswa. Akibatnya
materi pelajaran yang belum dipahami siswa ber-IQ rendah akan terus menumpuk
dan tetap tidak terkuasai hingga ujian akhir.
Begitu juga dalam hal pemberian tugas intruksionil. Jika siswa
dengan IQ tinggi akan mampu menyelesaikan tugas dengan cepat, siswa dengan IQ
rendah malah dikhawatirkan tidak dapat menyelesaikan tugas yang diberikan tepat
waktu dengan hasil yang maksimal. Kemungkinan terburuk jika waktu yang
diberikan untuk menyelesaikan tugas sangat sempit dengan kejar tayang materi
pelajaran sehingga siswa diberikan banyak tugas, maka siswa tersebut akan
kehilangan kesempatan untuk menyelesaikan dan mengumpulkan tugasnya hingga
batas waktu yang diberikan dan berakibat pada tidak tuntasnya penilaian untuk
siswa tersebut pada suatu mata pelajaran.
Untuk menyeimbangkan keadaan di kelas, guru bisa membagi kelompok
belajar dan bekerja sama dengan siswa-siswa berinteligensi tinggi. Guru dapat
mengelompokkan siswa yang pintar dan kurang dalam satu kelompok belajar untuk
kemudian mengerjakan tugas bersama-sama. Siswa berinteligensi tinggi diberikan
pengarahan untuk dapat membantu dan bersama guru membimbing siswa
berinteligensi rendah dengan penilaian individual objektif yang kemudian
dilakukan oleh guru. Dengan cara ini, guru terbantu untuk memahamkan siswa yang
kurang sekaligus menghemat waktu pembelajaran sebab siswa akan bersama-sama
mengerjakan dan menyelesaikan tugas instruksional mereka.
Waktu dan Kecemasan
Wicaksono (2013 : 90) menyimpulkan bahwa kecemasan dalam belajar merupakan
bentuk perasaan seseorang baik berupa perasaan takut, tegang ataupun cemas
dalam menghadapi persoalan atau dalam melaksanakan pembelajaran dengan berbagai
bentuk gejala yang ditimbulkan. Orang-orang sering merasa bertambah cemas
apabila diminta melakukan sesuatu pada saat terdesak.
Pemberian tugas di saat-saat terakhir batas waktu pembelajaran akan
membuat seorang siswa mengerjakan tugas intruksionalnya secara asal-asalan.
Betapa tidak, siswa harus mengejar target untuk mengumpulkan tugas suatu mata
pelajaran di tanggal D. Tugas-tugas instruksional dari mata pelajaran lain
secara mendesak juga diminta untuk dikumpulkan di tanggal yang sama. Akibatnya
siswa tidak bisa focus untuk mengerjakan satu tugas secara maksimal. Siswa
tersebut akhirnya merasa cemas jika tugas-tugas yang diberikan tidak
terselesaikan tepat pada waktunya. Siswa akhirnya memilih untuk asal
mengumpulkan tugas tepat pada waktunya ketimbang menyelesaikan tugas dengan
maksimal tetapi membutuhkan waktu yang lebih lama dan potensi keterlambatan
pengumpulan tugas lebih besar.
Kasus tugas-tugas mendesak seperti ini biasanya terjadi di akhir
waktu periode pembelajaran untuk memenuhi nilai tugas akhir. Kerugiannya siswa
tidak bisa memaksimalkan potensi yang dimilikinya walaupun ia sebetulnya bisa
menghasilkan sebuah karya yang lebih baik. Secara otomatis nilai siswa yang
bersangkutan tidak akan lagi maksimal seperti ketidakmaksimalan tugasnya. Tidak
menutup kemungkinan prestasi siswa tersebut bisa menurun.
Pengaturan dalam pemberian tugas haruslah direncanakan dengan baik
oleh guru. Misalnya guru bisa memikirkan lebih awal jenis tugas apa yang akan
diberikan kepada siswa dan mengumumkannya lebih awal pula, sehingga siswa
memiliki waktu lebih banyak untuk menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan.
Efek positifnya tingkat kecemasan dan kejenuhan siswa akan berkurang.
Kesimpulan
Guru harus sangat professional dalam membagi waktu pembelajaran.
Mestinya kurikulum pembelajaran juga menyesuaikan kepadatan materi pembelajaran
dengan alokasi waktu yang tersedia. Namun jika seorang guru bijak dalam
perencanaan pembelajaran maka ia bisa meminimalisir keterdesakan waktu
tersebut.
Pengaturan waktu sangat penting karena kemampuan siswa berbeda-beda
satu sama lainnya. Dengan memberikan luang bagi mereka untuk leluasa
mengeksplorasi kemampuannya, maka siswa berkemampuan rendah akan dapat
menyelesaikan tugas dengan tenang sehingga hasilnya tidak akan terlalu
mengecewakan.
Referensi
Arends, Richard I, Learning to
Teach, New York: The McGraw Hill, Inc., 2007.
Liza,
“Otak Manusia, Neurotransmitter, dan Stress”, Artikel Dinas Kesehatan Kabupaten
Cirebon, 2010.
Mulyasa,
Menjadi Guru Profesional, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011.
Pandang,
Abdullah, “Manajemen Waktu Belajar”, bahan disajikan pada Character Development Training bagi mahasiswa
Bidik-Misi UNM, 2013.
Rachmahana,
Ratna Syifa’a, “Psikologi Humanistik dan Aplikasinya dalam Pendidikan”, Jurnal El-Tarbawi, vol. 1, no. 1, 2008.
Sabirin,
“Perencanaan Kepala Sekolah tentang Pembelajaran”, Jurnal Tabularasa,
vol. 09, no. 10 (Juni, 2012).
Sadker, Myra
and David Sadker, Teachers, Schools, and Society, New York: The McGraw Hill, Inc., 2005
Santrock, John
W, Educational Psychology, New York: The McGraw Hill, Inc., 2004.
Umi Humairoh,
“Pengaruh Metode Pemberian Tugas dan Resitasi Terhadap Hasil Belajar IPS pada Siswa Kelas VII di MTs Daarul Hikmah
Pamulang”, Skripsi Universitas Negeri
Jakarta, Jakarta, 2011.
Wicaksono,
Arif Budi, “Mengelola Kecemasan Siswa dalam Pembelajaran Matematika”, Makalah dipresentasikan dalam Seminar
Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Pendidikan Matematika FMIPA UNY (Yogyakarta: Nopember 2013).
Tulisan Artika Werian, Ibu jadikan sumber dalam penelitian Ibu. Trims ya nanda.Salam
BalasHapus